Mendesaknya Pendidikan Toleransi
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia harus diakui kaya akan ragam budaya, kepercayaan dan agama. Dengan begitu, Indonesia sesungguhnya pantas berbangga. Karena kemajemukan dan keberagaman mesti dilihat sebagai keutamaan sekaligus kekuatan bangsa. Namun apa yang terjadi? Fenomena belakangan menunjukkan arti sebuah keberagaman dan kemajemukan bukanlah sesuatu yang bermartabat. Alih-alih dimaknai seperti itu, malah justru sebaliknya, konflik antar suku, perang saudara, pertikaian antar agama bahkan kehidupan pesantren yang sarat dengan nilai-nilai agama pun tak luput dari perilaku kekerasan.
Sikap yang mewarnai keseharian kehidupan kita sebagai bangsa menggambarkan dengan amat jelas minimnya pemahaman dan kesadaran kita akan makna keberagaman dan kemajemukan yang sesungguhnya.
Refleksi terhadap lemahnya masyarakat kita akan makna keberagaman dan kemajemukan disebabkan pelajaran yang berorientasi akhlak/moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengamalan secara nyata dan menyentuh kehidupan riil masyarakat kita. Bahkan tidak jarang dunia pendidikan justru mengembangkan persoalan-persoalan yang dapat memperuncing kerukunan kehidupan antar umat beragama.
Menjaga dan melestarikan keberagaman dalam mewujudkan kebersamaan dan kerukunan hidup sangat efektif dimulai dari lingkungan pendidikan. Sekolah dengan demikian harus menyediakan ruang bagi bertumbuhnya keberagaman dan kemajemukan. Oleh karena itu, pengenalan terhadap simbol-simbol keberagaman antar suku, kepercayaan, agama, budaya, perlu dikenalkan terhadap anak didik sejak dini. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bahwa berbeda itu adalah sebuah keniscayaan. Dengan mengenalkan beragam perbedaan sejak dini merupakan fondasi utama dalam membangun karakter inklusif dan mengembangkan sikap toleransi.
Lembaga pendidikan sebagai agen perubahan masyarakat harus turut bertanggungjawab atas lemahnya sikap toleransi dan inklusivisme yang kembali marak terjadi akhir-akhir ini. Penafsiran yang sempit dan kering terhadap ajaran agama dianggap sebagai pemicu perilaku fanatisme golongan.
Oleh karena itu, sudah saatnya lembaga pendidikan segera merubah sistem dan proses pengajaran yang bisa mempersempit pemahaman ajaran agama. Misalnya, siswa non-Muslim dapat ambil bagian dalam acara Idul Adha, turut serta mempersiapkan daging kurban, yang non-Kristen dapat ambil peran dalam kegiatan aksi Paskah/Natal, yang non-Budha dapat berpartisipasi dalam persiapan Waisak, dan sebagainya. Bahkan penting kiranya mengajak anak didik untuk studi banding ke tempat-tempat ibadah yang berlainan agama, mengenalkan ajaran-ajaran dan laku ritual mereka.
Dengan begitu, ketika anak bersentuhan dengan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang selama ini dianut, diajarkan, dan diamalkan bukan lah merupakan sesuatu yang asing bahkan harus dimusuhi. Anak tidak lagi gagap dengan segala perbedaan.
Namun ternyata kondisi demikian masih jauh dari apa yang diidealkan dari proses pendidikan di negeri kita. Justru lembaga pendidikan saat ini diramaikan dengan maraknya sekolah-sekolah eksklusif yang sarat dengan nuansa agama. Hal ini dikhawatirkan ketika proses pengajaran tidak diimbangi dengan pemahaman ajaran yang bersifat inklusif anak terjebak pada doktrin-doktrin agama yang kaku dan bisa mengarah pada tersemainya bibit-bibit fanatisme. Justru ini yang membahayakan.
Pendidikan agama yang dianggap sebagai pilar moral bangsa ternyata belum banyak memberikan jawaban nyata atas berbagai macam munculnya konflik SARA yang sering terjadi. Sesungguhnya apa yang salah dari pembelajaran agama kita selama ini?
Analisa yang dikemukakan Brenda Watson dalam bukunya Education and Belief (1987) ada tiga sebab utama yang menjadikan gagalnya pembelajaran agama di sekolah-sekolah.
Pertama, proses pendidikan yang diajarkan guru lebih mengarah kepada proses indoktrinasi (indoctrination process), sehingga pembelajaran agama diposisikan sebagai sesuatu yang bersifat absolut dan tak terbantahkan. Kedua, lebih menekankan pada pembelajaran agama yang bersifat normatif-informatif. Dan ketiga, kuatnya ideologi atau komitmen agama yang dianut oleh sang guru.
Bila proses pendidikan di sekolah-sekolah kita masih berpegang teguh pada ke-tiga hal tersebut, maka jangan harap pembelajaran agama bisa membumi dan menjadi tumpuan moral bangsa yang lebih bermartabat.
Harapan kita satu-satunya adalah pada pembelajaran agama dan moral yang diajarkan di sekolah-sekolah. Oleh karena itu, revitalisasi pembelajaran agama dan moral dalam menumbuhkan sikap toleransi menjadi kebutuhan yang mendesak. Sudah saatnya lembaga pendidikan kita mengubah sistem dan proses pendidikan kita menuju pendidikan yang lebih inklusif bila tidak ingin perilaku kekerasan menjadi habitus baru generasi bangsa ini.
* Wakil Ketua PP RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) PBNU
sumber : www.nu.or.id
Leave a Comment